Minggu, 08 Januari 2012

Perbankan Indonesia

Oleh : Tumpak Winmark Hutabarat. Rezim internasional, sebutan untuk sekumpulan negara-negara maju, kini gencar-gencarnya menerapkan praktek menguasai sumber daya alam, perdagangan dan keuangan dunia. Setiap lawatan mereka ke negara berkembang, kata liberalisasi kerap menjadi obat mujarab mereka dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat negara berkembang.
Sejalan dengan maraknya kampanye globalisasi (ciptaan negara maju), program liberalisasi dengan konsep pasar bebas, kini semakin mengarahkan seluruh peraturan perdagangan masuk dalam mekanisme pasar bebas.

Jelas tampak dalam realitas sektor keuangan negara kerap terjadi praktek deregulasi dengan mengurangi peran negara dan digantikan aturan internasional sesuai agenda liberalisasi yang ditanamkan oleh lembaga-lembaga internasional seperti World Trade Organization (WTO).

Globalisasi Menjadi Arena Permainan

Pada zaman dahulu, beberapa puluh tahun yang lalu, sangat susah bagi orang untuk memindahkan duit dari satu tempat ke tempat lain, sebab harus melalui sejumlah prosedur dan juga belum mutakhirnya teknologi pada zaman itu. Pada zaman globalisasi sekarang ini, uang dapat berpindah dengan cepat hanya melalui telepon.

Praktek globalisasi ternyata telah menjadikan uang sebagai barang dagangan layaknya seperti makanan, tidak lagi seperti fungsi awalnya sebagai alat tukar. Globalisasi pada sektor perdagangan menjadi perpindahan uang sejumlah jutaan dollar dapat dilakukan hanya dengan hitungan detik layaknya menekan tombol pada suatu permainan video game.

Pada tahun 1997, Indonesia menjadi korban. George Soros dan pedagang lainnya (berjumlah 200.000 pedagang) seketika menarik uangnya dari Indonesia dan Bank Sentral tidak mempunyai kekuatan untuk mengatasi kearoganan kekuatan pasar sebab cadangan modal yang dimiliki tidak mampu mengimbangi pasar. Akibatnya terjadi pemutusan hubungan kerja, jutaan buruh meletus terjadi begitu saja.

Krisis ekonomi tahun 1997 yang dialami oleh Indonesia, merupakan pintu masuk bagi pelaksana liberalisasi perbankan di Indonesia secara besar-besaran. Agenda yang diterapkan IMF kepada Indonesia mengharuskan Indonesia untuk melakukan penyesuaian struktural terhadap seluruh regulasi perbankan yang merupakan bagian dari sebutan Konsensus Washington antara lain pertama, Pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, penghapusan subsidi, kedua, Liberalisasi sektor keuangan. Ketiga, Liberalisasi sektor perdagangan serta keempat Privatisasi BUMN

Invasi ekonomi gencar dilakukan negara maju, saat ini terkenal dengan sebutan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Foreign Direct Investment (FDI).

Pada tahun 1998, terdapat 53.000 MNC di seluruh dunia dengan anak perusahaan 450.000 dan jumlah perdagangan mencapai 9,5 triliun dollar AS (I. Wibowo, 2003). Beberapa ratus MNC mempekerjakan sebesar 6 juta orang di seluruh dunia. Sebagian perusahaan ini mempunyai markas di AS, Eropa dan Jepang (56.380) dan sebagian kecil di negara berkembang (7.932).

Sebut saja General Motors, Royal Dutch/Shell Group, Exxon, Ford Motor, IBM, Mobil, British Petroleum, Toyota Motor Co., General Electric, Daimler-Benz, Americal Tel & Tel, Volkswagen, Nissan Motor, Hitachi, FIAT, Siemens, Philips, Unilever, dan sebagainya.

Perbankan Indonesia Sasaran Empuk

Tingginya arus peredaran uang dalam arus globalisasi dan perdagangan bebas menjadi sektor perbankan sebagai sektor yang paling strategis dalam perdagangan karena fungsi bank sebagai perantara, menunjukkaan peranan yang penting dalam perdagangan dan pembangunan. Bank sangat terkait dengan penyediaan modal bagi usaha atau perdagangan, sehingga perekonomian dapat berputar, sehingga agenda liberalisasi menuju target sasaran empuk yakni sektor perbankan. Rumusan seperti ini juga sudah pernah dijelaskan oleh Karl Marx dalam bukunya yang terkenal Das Capital, menyebutkan bahwa kapital bank merupakan kapital paling reaksioner yang kerap menunjukkan sensasi, hal ini sejalan dengan berbagai kasus mega korupsi di Indonesia melibatkan sejumlah bank seperti likuiditas sejumlah bank tahun 1998, kasus Bank Bali, kasus Bank Century dan lainnya

World Trade Organization (WTO) merupakan salah satu organisasi internasional yang memang dibuat untuk memuluskan rencana liberalisasi. WTO bekerja bersama dengan lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) untuk menjalankan agenda liberalisasi di seluruh dunia.

Praktek liberalisasi yang terjadi adalah pihak asing dapat menguasai pasar perbankan di Indonesia dengan memberikan kemudahan perizinan bagi bank asing yang akan membuka cabang di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 1998. Paling utama adalah dibolehkannya kepemilikan saham bank umum oleh asing hingga 99% sebagaimana diatur dalam UU No.29 tahun 1999.

Data yang dikeluarkan oleh Kompas per Maret 2011, bahwa pihak asing telah menguasai 50,6% aset perbankan nasional dan hanya bank-bank yang beroperasi secara global dapat (Multinational Cooperation Banking) yang dapat menguasai sektor perbankan nasional, karena memiliki pemodalan kuat.

Harapan perbankan nasional menjadi motor penggerakan ekonomi nasional dalam penciptaan lapangan kerja demi kesejahteraan rakyat sepertinya akan menjadi isapan jempol belaka. Sebab kepungan modal asing di sektor perbankan menjadikan negara tidak memiliki sejumlah uang yang bisa digunakan dalam penyelenggaraan kegiatan produksi barang dan jasa. Negara hanya menjadi penyedia fasilitas demi kenyamanan modal asing. Saatnya pemerintah merevitalisasi tugas dan fungsi sektor perbankan dan menunjukkan independensinya dalam menentukan kebijakan demi menghempang dominasi modal asing yang bisa membangkrutkan negara ini.
sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/02/28635/perbankan_indonesia_target_empuk_globalisasi/#.TwletGHuqSo

0 komentar:

Posting Komentar